COPAS:kompasiana. Seiring
dengan penerapan Kurikulum 2013, pembelajaran yang diharapkan oleh
pemerinah mengarah pada tiga ranah, yaitu ranah kognitif, ranah afektif,
dan ranah psikomotorik. Ranah kognitif berbicara pada kemampuan anak
dalam memahami konsep-konsep ilmu setiap pelajaran atau diindikasikan
dengan bentuk pertanyaan (tahu apa?), ranah afektif berbicara pada
kemampuan anak dalam memberikan respons/sikap terhadap materi yang ia
pelajari atau diindikasikan
dengan bentuk pertanyaan (tahu mengapa?), dan ranah terakhir, yaitu
ranah psikomotorik/keterampilan atau diindikasikan dengan bentuk
pertanyaan (tahu bagaimana ?)
Sejalan
dengan itu, penerapan kurikulum 2013 diharapkan memberi kontribusi yang
signifikan terhadap setiap mata pelajaran. Pada akhirnya, kurikulum
2013 dapat berpengaruh besar
menciptakan peserta didik yang produktif, kreatif, inovatif melalui
penguatan sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang terintegrasi. Bentuk
penilaian inilah yang sering dimunculkan dalam kurikulim 2013 dengan
penilaian autentik dengan pendekatan Saintifik (mengamati, menanya,
menalar, mencoba, dan membentuk jaringan).
Memang harus diakui, selama ini dalam penerapan kurikulum terdahulu (Baca kembali tulisan Guru kurikulum Vs Guru Inspiratif di www.kompasiana.com/jonter.
) masih lebih dominan menerapkan pembelajaran pada ranah kognitif
walaupun sebenarnya gagasan kurikulum 2013 sudah dimunculkan saat itu.
Hanya saja, penerapannya yang belum seutuhnya.
Jika
dikaitkan dengan pembelajaran bahasa Indonesia, kenyataaanya selama ini
masih berbasis inkonteks. Maksudnya, pembelajaran Bahasa Indonesia
masih meyuguhkan tek-teks yang lepas dan bukan
merupakan teks yang utuh. Dengan kata lain, teks-teks yang disajikan
dalam buku pembelajaran hanya berupa potongan-potongan paragraf. Dalam
penerapannya, potongan-potongan paragraf tersebut tentu tidak akan
memuat keseluruhan informasi secara utuh.
Jika
soal-soal yang diberikan masih seputar kebahasaan, tentunya tidaklah
terlalu kita permasalahkan. Namun, bagaimana dengan pembelajaran Bahasa
Indonesia yang berkaitan dengan kesastraan patutlah kita permasalahkan.
Mengapa? Alasannya sederhana saja. Secara teoretis cakupan sastra itu
memuat dua wilayah kajian. Pertama, sastra masuk dalam kajian
kebahasaan. Kedua, sastra juga
termasuk dalam kajian wilayah seni. Sastra masuk dalam kajian bahasa
jelas memberi isyarat bahwa dalam menghasilkan karya sastra tersebut
harus menggunakan bahasa sebagai media utamanya. Tanpa bahasa tentulah
sastra tidak ada. Demikian pula, sastra termasuk dalam kajian seni
karena selain sastra berkitan dengan bahasa tentulah sastra juga
berkaitan dengan hasil imajinasi/pemikiran
pengarangnya. Dalam sastra itu, ada nilai-nilai yang didapatkan. Nilai
sastra terbut salah satunya nilai estetika. Oleh karena itu, setelah
kita membaca salah satu karya sastra ada rasa puas atau bahkan
menyenangkan.
Selain
itu, dalam memahami sastra tentunya sudut pandang seseorang tidaklah
sama walaupun secara logisnya ada jawaban yang mendekati. Akan tetapi,
apakah itu dapat dijadikan jurus ampuh dalam menangani masalah itu?
Tentu tidak!
Keterkaitan
dengan pembelajaran sastra, selama ini masih tersaji bentuk-bentuk
cuplikan sastra padahal keutuhan isi cerita tersebut belum memadai. Kita
lihat saja satu contoh soal Bahasa Indonesia seperti berikut.
Aku
dan Marno bertugas menarik bom peledak dan pasukan lainnya bertempat
agak jauh di seberang jalan di balik tanggul sawah yang agak tinggi
letaknya bersenjatakan
stegun-stegun dan sebuah bregun untuk mengacaukan pengawal-pengawal
konvoi dan melindungi pengunduran diri yang menarik pasangan-pasangan. Pertanyaan yang dimunculkan adalah unsur apakah yang paling dominan dari cerita itu? (a. Alur, b. Latar, c. Situasi, d. Sosial, e. Tema)
Bagi sebagian guru, jawaban itu bisa saja dijawab dengan benar, tetapi bagaimana dengan sebagian guru lain mungkin
juga akan menjawab dengan penuh keraguan. Pasalnya, bentuk
pertanyaannya mengandung “umpan”. Ibarat umpan saat memancing ikan,
tentu umpan itu boleh pilih oleh ikan-ikan lainnya untuk dimakan dan
boleh juga tidak menjadi pilihan. Artinya,
umpan tersebut akan berada pada situasi mana suka. Demikian halnya,
bentuk soal di atas. Siswa akan menjawab dengan cara mana suka. Maka
tidak heran, ada siswa yang menjawab dengan menghitung kancing bajunya.
Sebenarnya, sebagian siswa dapat memahami pertanyaan itu apabila ia sudah terbiasa “bergaul” dengan teks-teks sastra. Maksudnya, mungkin
sebagian siswa yang sangat senang dengan sastra katanlah siswa yang
rajin membaca seputar sastra mudah menebak cerita itu. Dampaknya, mereka
akan terbantu mengenali konsep apa yang ada dibalik cerita itu, tetapi
bagaimana dengan siswa yang sama sekali tidak suka bahkan “alergi”
mendengar kata sastra. Pastilah tindakan yang dlakuakn oleh siswa
menemukan dan mengkreasikan jawaban pintas. Kita sebagai guru tentu hal
itu tidak boleh diabaikan begitu saja.
Semoga
dengan penerapan kurikulum 2013 ini dengan bentuk soal-soal yang
berbasis teks dengan integrasi dengan mata pelajaran lainnya akan
membawa perubahan dalam setiap materi pelajaran umumnya dan khususnya
materi Bahasa Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar